Páginas

Katanya, sih, Tobat...

Tobat sambel

Gimana sih rasanya makan sambel?
Pedes.

Ya, tentu saja.

Maksudku, bukan hanya tentang rasa yg dikecap. Tapi sebuah sensasi ketika kepedasan itu kita rasakan.

"Udah tau bikin sakit, tapi masih diterusin aja!"

Kalau dariku, itu yg aku rasakan. Mari kita akui. Ada sisi 'menyiksa diri' ketika kita mengonsumsi makanan pedas. Tapi anehnya, perasaan itu malah bikin kita terus makan lagi dan lagi!

Meski saat rasa lidah sudah tak sanggup, berucaplah kita,

"Ah, udah, udah. Gak kuat aku mah!"

Tapi tak jarang, beberapa menit usai sensasi terbakar itu mereda, kita malah terbuai dibuatnya.

Disantap kembali lah sambel itu!

Padahal, tadi, katanya udah gak kuat. :p

Dari sini, sudah bisakah menghubungkan fenomena ini untuk mendefinisikan 'tobat sambel'?

Bukan, ia bukan bermakna tobat dari memakan sambal, yg berarti ia akan berhenti mengonsumsi cabai dan kawan-kawannya.

Melainkan, tobat yg serupa saat kita berjanji bakal berhenti makan sambal karena kepedasan, eh taunya tak lama setelahnya makan lagi juga!

Yup, janji itu dilanggar karena tergoda sensasi enaknya makan sambal.

Hmm...
Kira-kira, dosa apa yg selalu membuai kita untuk mengulangnya kendati sudah tau bahayanya?

Yuk, ah, taubat mah taubat aja.
Say no to tobat sambel!

KETIKA JARI JEMARI MENYERANG HATI

KETIKA JARI JEMARI MENYERANG HATI

“10 Fakta tentang Tempat Wisata A, No. 8 bikin kaget!”, “Ingat dengan penyanyi cilik bintang iklan susu kaleng tahun 2000-an? Ini, lho, kabarnya sekarang!” beserta serangkaian judul persuasif lainnya yang seolah menggiring kita untuk membuka isi berita merupakan kata-kata yang sudah tak asing lagi kita baca dan berseliweran di linimasa.
Kemudian link berita itu ramai dibuka. Kata demi katanya dikonsumsi oleh pembaca. Namun ternyata, semakin banyak pembaca, semakin beragam pula reaksinya. Ada yang biasa saja, tak menanggapi apa-apa, ada juga yang dengan sigap menakan tanda “bagikan” supaya teman-temannya ikut membaca, dan ada yang malah kecewa bahkan sampai marah-marah.
Dikutip dari materi yang disampaikan oleh Pak Gungun Suswadi, staff ahli di Kementerian Komunikasi dan Informasi, dalam acara bertaju ‘Bijak Bermedia Sosial’ yang digelar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran pada hari Selasa (12/12), di zaman ini, Indonesia memang sudah memasuki era informasi. Sehingga tak heran bila kita sudah ketergantungan dengan informasi yang dengan mudah kita akses melalui gawai pintar yang kita miliki.
Bahkan, masih menurut Pak Gungun, informasi kini menjadi komoditas yang harus dibeli, yang di antara caranya melalui pulsa yang diisi pada ponsel. Beliau menyampaikan data statistik mengenai rata-rata pengeluaran pulsa di wilayah Indonesia dalam sebulan. Seperti wilayah Aceh Barat sebesar Rp34.000,00, Merauke sebesar Rp28.000,00, dan yang paling rendah di Pulau Buru,Maluku sebesar Rp7.000,00. 
 Dengan adanya pulsa itulah, informasi dapat kita beli kemudian diakses seluas mungkin melalui ponsel pribadi yang menurut data statistik, pengguna ponsel pintar di Indonesia mencapai angka 63,4 juta dengan pembelian sim card sekitar 330 juta. Informasi yang dicari tentu bermacam bentuknya. Salah satunya adalah berita-berita sebagaimana yang telah disinggung di awal tulisan. Dari sebuah berita dapat mendatangkan banyak timbal balik, baik pujian maupun hujatan.
Semua itu tergantung isi beritanya, memang. Manakala membaca judul yang nampak heboh dan hiperbolis, otomatis muncul berbagai ekspektasi di pikiran pembaca perihal konten berita yang disajukan padanya. Terlebih dengan terbuka bebasnya kolom komentar, setiap konsumen berita bisa sesuka hati menyampaikan opini. Di sinilah, bisa dikatakan, masalah baru bermunculan. Tak bisa kita pungkiri bahwa tak semua berita isinya semenawan yang ada pada judulnya.
Kerap kita temui berita yang isinya tak sesuai judul, melenceng sangat.  Atau pembahasannya mungkin cukup sesuai, namun tak memenuhi ekspektasi pembaca yang didapat dari judul yang ada. Bahkan, tak jarang ada berita yang ujung-ujungnya malah menjual produk, padahal tujuan orang yang membacanya sedang membutuhkan informasi, bukan mencari iklan ataupun promosi.
Kemudian para pembaca berkomentar. Fenomena di kolom komentar yang kita temui hari ini ialah budaya nyinyir. Kadang nyinyir itu beralasan, memang, seperti kesal dengan isi berita yang tak ada nyambung-nyambungnya dengan judul. Tetapi tak jarang komentar nyinyir itu justru menghinggapi berita atau postingan yang sebenarnya bermanfaat. Bahkan serang-menyerang antar komentator seringkali tak dapat terelekkan. Hanya karena berselisih pendapat dalam masalah sepele, caci-mencaci pun terjadi. Bukan hanya mengkritisi opini, tapi juga hingga menjelek-jelekkan pribadi. Padahal, sebelum berkomentar di media sosial ini, kedua pihak tidak mengenal sama sekali!
Media sosial memang menjadi ajang kita bebas berekspresi. Namun kita tetap harus berhati-hati, karena di Indonesia ini, terdapat Undang-Undang ITE yang mengatur dan mengawasi agar hal-hal buruk di dunia maya tidak terjadi. Sanksinya pun tak main-main. Hukuman denda dan kurungan selalu menghantui.
Mari lebih berhati-hati menggerakkan jari-jemari dalam mengomentari isu ataupun berita di media sosial yang kita temui. Mari kurangi menanggapi tulisan orang lain dengan penuh tendensi. Sebab meski tak saling bertatap muka dan sang penulis tak kita kenali, ketika kita berinteraksi, tetap saja kita memiliki hati. Yang harus sama-sama kita jaga agar tak saling menyakiti.
Mari menjadi bijak dalam menggunakan media sosial ini. Apik dalam menulis, selektif dalam berbagi, serta santun dalam mengomentari. Karena apa yang datang dari hati, akan sampai pula ke hati.

#BijakBermedsos
#Flashblogging