KETIKA JARI JEMARI
MENYERANG HATI
“10
Fakta tentang Tempat Wisata A, No. 8 bikin kaget!”, “Ingat dengan penyanyi
cilik bintang iklan susu kaleng tahun 2000-an? Ini, lho, kabarnya sekarang!”
beserta serangkaian judul persuasif lainnya yang seolah menggiring kita untuk
membuka isi berita merupakan kata-kata yang sudah tak asing lagi kita baca dan
berseliweran di linimasa.
Kemudian link berita itu
ramai dibuka. Kata demi katanya dikonsumsi oleh pembaca. Namun ternyata,
semakin banyak pembaca, semakin beragam pula reaksinya. Ada yang biasa saja,
tak menanggapi apa-apa, ada juga yang dengan sigap menakan tanda “bagikan”
supaya teman-temannya ikut membaca, dan ada yang malah kecewa bahkan sampai
marah-marah.
Dikutip dari materi yang
disampaikan oleh Pak Gungun Suswadi, staff ahli di Kementerian Komunikasi dan Informasi,
dalam acara bertaju ‘Bijak Bermedia Sosial’ yang digelar di Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas Padjadjaran pada hari Selasa (12/12), di zaman ini, Indonesia
memang sudah memasuki era informasi. Sehingga tak heran bila kita sudah
ketergantungan dengan informasi yang dengan mudah kita akses melalui gawai
pintar yang kita miliki.
Bahkan, masih menurut Pak Gungun, informasi kini menjadi komoditas yang harus dibeli, yang di antara caranya melalui pulsa yang diisi pada ponsel. Beliau menyampaikan data statistik mengenai rata-rata pengeluaran pulsa di wilayah Indonesia dalam sebulan. Seperti wilayah Aceh Barat sebesar Rp34.000,00, Merauke sebesar Rp28.000,00, dan yang paling rendah di Pulau Buru,Maluku sebesar Rp7.000,00.
Dengan adanya pulsa itulah, informasi dapat kita beli kemudian diakses seluas mungkin melalui ponsel pribadi yang menurut data statistik, pengguna ponsel pintar di Indonesia mencapai angka 63,4 juta dengan pembelian sim card sekitar 330 juta. Informasi yang dicari tentu bermacam bentuknya. Salah satunya adalah berita-berita sebagaimana yang telah disinggung di awal tulisan. Dari sebuah berita dapat mendatangkan banyak timbal balik, baik pujian maupun hujatan.
Bahkan, masih menurut Pak Gungun, informasi kini menjadi komoditas yang harus dibeli, yang di antara caranya melalui pulsa yang diisi pada ponsel. Beliau menyampaikan data statistik mengenai rata-rata pengeluaran pulsa di wilayah Indonesia dalam sebulan. Seperti wilayah Aceh Barat sebesar Rp34.000,00, Merauke sebesar Rp28.000,00, dan yang paling rendah di Pulau Buru,Maluku sebesar Rp7.000,00.
Dengan adanya pulsa itulah, informasi dapat kita beli kemudian diakses seluas mungkin melalui ponsel pribadi yang menurut data statistik, pengguna ponsel pintar di Indonesia mencapai angka 63,4 juta dengan pembelian sim card sekitar 330 juta. Informasi yang dicari tentu bermacam bentuknya. Salah satunya adalah berita-berita sebagaimana yang telah disinggung di awal tulisan. Dari sebuah berita dapat mendatangkan banyak timbal balik, baik pujian maupun hujatan.
Semua itu tergantung isi
beritanya, memang. Manakala membaca judul yang nampak heboh dan hiperbolis,
otomatis muncul berbagai ekspektasi di pikiran pembaca perihal konten berita
yang disajukan padanya. Terlebih dengan terbuka bebasnya kolom komentar, setiap
konsumen berita bisa sesuka hati menyampaikan opini. Di sinilah, bisa
dikatakan, masalah baru bermunculan. Tak bisa kita pungkiri bahwa tak semua
berita isinya semenawan yang ada pada judulnya.
Kerap kita temui berita yang
isinya tak sesuai judul, melenceng sangat. Atau pembahasannya mungkin cukup sesuai, namun
tak memenuhi ekspektasi pembaca yang didapat dari judul yang ada. Bahkan, tak
jarang ada berita yang ujung-ujungnya malah menjual produk, padahal tujuan
orang yang membacanya sedang membutuhkan informasi, bukan mencari iklan ataupun
promosi.
Kemudian para pembaca berkomentar.
Fenomena di kolom komentar yang kita temui hari ini ialah budaya nyinyir.
Kadang nyinyir itu beralasan, memang, seperti kesal dengan isi berita yang tak
ada nyambung-nyambungnya dengan judul. Tetapi tak jarang komentar nyinyir itu
justru menghinggapi berita atau postingan yang sebenarnya bermanfaat. Bahkan serang-menyerang
antar komentator seringkali tak dapat terelekkan. Hanya karena berselisih
pendapat dalam masalah sepele, caci-mencaci pun terjadi. Bukan hanya
mengkritisi opini, tapi juga hingga menjelek-jelekkan pribadi. Padahal, sebelum
berkomentar di media sosial ini, kedua pihak tidak mengenal sama sekali!
Media sosial memang menjadi ajang
kita bebas berekspresi. Namun kita tetap harus berhati-hati, karena di
Indonesia ini, terdapat Undang-Undang ITE yang mengatur dan mengawasi agar
hal-hal buruk di dunia maya tidak terjadi. Sanksinya pun tak main-main. Hukuman
denda dan kurungan selalu menghantui.
Mari lebih berhati-hati
menggerakkan jari-jemari dalam mengomentari isu ataupun berita di media sosial
yang kita temui. Mari kurangi menanggapi tulisan orang lain dengan penuh
tendensi. Sebab meski tak saling bertatap muka dan sang penulis tak kita kenali,
ketika kita berinteraksi, tetap saja kita memiliki hati. Yang harus sama-sama kita
jaga agar tak saling menyakiti.
Mari menjadi bijak dalam
menggunakan media sosial ini. Apik dalam menulis, selektif dalam berbagi, serta
santun dalam mengomentari. Karena apa yang datang dari hati, akan sampai pula
ke hati.
#BijakBermedsos
#Flashblogging
0 komentar:
Posting Komentar